Kesuksesan Mohammad Nasih sebagai santri aktivis, akademisi, pendidik, dan enterpreneur, tidak lain karena kesungguhannya dalam memanfaatkan waktu. Abana, begitu para santri di Monash Institute memanggilnya, tidak pernah menyepelekan waktu. Ia selalu menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Sebab, baginya waktu itu sangat berharga dan tidak bisa dibeli atau diganti dengan apapun.
Karena aktivitasnya selalu diorientasikan untuk masa depan umat dan bangsa, maka Abana melakukan kegiatan sehari-harinya dengan penuh kesungguhan dengan tenaga berlipat-lipat. Sebab, dengan bersungguh-sungguh, dia tidak akan membuang waktu sedikitpun. Tidak ada kesempatan untuk berleha-leha dan bermalas-malasan, meskipun hanya satu detik. Begitulah gambaran sikap Mohammad Nasih terhadap waktu. Sangat ekstrem, bukan?
Meski demikian, Abana tidak menganggap waktu adalah uang sebagaimana pepatah dalam bahasa Inggris: “Time is money”.
Dikatakan dalam sebuah Sya’ir Arab:
الوَقْتُ أَثْمَنُ مِنَ الذَّهَبِ
“Waktu itu lebih berharga daripada emas.” Karena waktu adalah perhiasan manusia dan kesempatan hidup yang paling berharga. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa waktu itu lebih berharga daripada uang atau emas.
Dalam memahami waktu, Abana sering menjelaskan kepada disciples filosofi dari pepatah Arab yang berbunyi:
الوقت كالسيف ان لم تقطعه قطعك
“Waktu laksana pedang. Jika kamu tidak memotongnya, maka pedang itu akan memotongmu.”
Waktu diibaratkan sebagai pedang musuh seseorang yang jika ia tidak segera menghabisi dam memotong pedang itu, maka pedang itu akan memotong dan membunuhnya, sebagaimana dalam peperangan melawan musuh di medan perang. Ibnu Abi Jamroh dalam kitabnya, Bahjatu al-Nufus berkata: “Potonglah waktu dengan perbuatanmu agar waktu tidak memotongmu”. Mengapa pengibaratan waktu itu sepertinya kok kejam dan ngeri sekali?
Rasulullah saw bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhari No. 6412, dari Ibnu ‘Abbas).
Menurut Ibnu al-Jauzi, manusia terkadang berada dalam kondisi sehat, tetapi ia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dengan urusan dunianya. Dan terkadang pula seseorang memiliki waktu luang, namun ia dalam kondisi tidak sehat. Apabila terkumpul pada manusia waktu luang dan nikmat sehat, sungguh akan datang rasa malas dalam melakukan amalan ketaatan. Itulah manusia yang telah tertipu (terperdaya).
Gambaran itu memang sangat mudah kita pahami ketika melihat kebanyakan orang di sekitar kita yang bersantai ria dalam menjalani kehidupan. Santai dalam konteks ini berarti bermalas-malasan, tidak punya semangat yang juang yang tinggi untuk melakukan sesuatu. Demikianlah, faktanya ada banyak orang yang sering melalaikan satu kenikmatan bernama “waktu”.
Dalam kehidupan sehari-hari, Abana sangat tidak suka ketika melihat ada orang yang “berhaha-hihi”. Ia sangat benci kepada orang yang berleha-leha. “Apa mereka punya waktu berlebih? Seandainya waktu mereka bisa saya beli, maka akan saya beli,” katanya. Dan jika sikap yang demikian itu terjadi pada murid-murid atau santri-santrinya, Abana tidak segan-segan menegurnya dengan keras, bahkan menghardiknya.
إنِّي أَكْرَهُ الرَّجُلَ أَنْ أَرَاهُ يَمْشِي سَبَهْلَلًا أَيْ: لَا فِي أَمْرِ الدُّنْيَا وَلَا فِي أَمْرِ آخِرَةٍ
“Aku tidak suka melihat seseorang yang berjalan seenaknya tanpa mengindahkan ini dan itu, yaitu tidak peduli penghidupan dunianya dan tidak pula sibuk dengan urusan akhiratnya.”
Dalam konteks ini, jika ada manusia yang berleha-leha dalam kehidupannya, sesungguhnya ia belum mengerti filosofi waktu yang konsekuensinya begitu menakutkan.
Melalaikan waktu adalah suatu kebinasaan. Bisa jadi tanpa disadari waktu akan membunuh seseorang, jikalau ia lalai dengannya. Ya, waktu akan membunuh orang yang melalaikanya. Pengaruhnya akan membuat orang sengsara, karena dengan melalaikan waktu maka kerugian, penyesalan, dan kesakitan telah menunggu di hadapannya.
Jika kita tidak memanfaatkan waktu dengan sebaik baiknya, maka kita akan binasa sebagaimana binasanya seseorang yang terkena sabetan pedang. Jika kita tidak segera menghindar dan melawannya maka pedang akan memotong dan mencabik-cabik kita, karena waktu bagaikan pedang yang sewaktu-waktu akan membunuh.
Berdasarkan filosofi yang demikian ekstrem, Abana Mohammad Nasih menjalani kegiatan sehari-harinya dengan mengerjakan hal-hal yang bermanfaat, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Abana tidur maksimal enam jam dalam sehari, yang terdiri dari tidur di waktu malam dan siang (qailulah). Menurutnya itu waktu yang paling ideal untuk menjaga keseimbangan tubuh.
Abana sebagai Imam
Sebagai seorang imam dalam shalat, Abana tidak ingin terlambat shalat berjamaah. Ketepatan waktu benar-benar dijaga olehnya. Sudah ada rambu-rambu yang menjadi pemahaman bersama para disciples di Monash Institute, kalau sampai waktu yang ditentukan Abana tidak juga datang, berarti ia sedang ada kegiatan di luar. Untuk waktu sekarang, Abana biasanya mengkonfirmasi lewat status Whatsapp jika ia berhalangan hadir untuk jamaah di pesantren Darul Qalam Monash Institute Semarang: “Yang di DQ 1 segeralah shalat.”
Abana tidak ingin ketinggalan untuk shalat berjamaah. Sebab, shalat berjamaah mendapat pahala 27 derajat dibandingkan shalat sendiri-sendiri. Dia bahkan berani membayar orang yang sudah shalat untuk shalat berjamaah dengannya karena saking besarnya keutamaan shalat berjamaah.
Sebagai Imam keluarga, Abana menggunakan waktunya untuk menjalankan kewajibannya, menafkahi keluarga, baik nafkah lahir maupun batin. Abana juga sudah mulai mendidik anaknya dari kecil dengan keras, terutama kepada anak pertama (Hokma) dan kedua (Hekma) yang sudah diperlakukan sebagai tawanan perang. Sementara putra ketiga dan keempat, Molka dan Daula, masih dalam fase diperlakukan sebagai raja.
Pendidik dan Pengkader Aktivis
Sebagai seorang pendidik, Abana selalu bolak-balik dari Jakarta-Semarang-Rembang-Semarang-Jakarta untuk mengajar mahasiswa dan para santrinya. Selain itu, sebagai seorang aktivis, ia juga sering diundang untuk mengisi training dan menjadi pembicara. Mobilitas yang tinggi membuat Abana belajar bagaimana waktu itu sangat berharga. Tidak ada dalam benaknya, kata boleh terlambat. Sebagai orang yang dibutuhkan, kalau sampai terlambat, orang akan kecewa.
“Datang lebih awal merugikan. Datang terlambat itu memalukan.”
Begitulah slogan Abana agar tepat waktu dalam segala hal. Sebab, terlambat itu memalukan. Abana sudah menghitung-hitung berapa jarak dan lamanya perjalanan agar datang sampai tujuan dengan tepat waktu, termasuk kemungkinan macet dan halangan lain.
Abana menggunakan waktu perjalanannya untuk tetap produktif, yaitu dengan menulis. Terbukti, di tengah kesibukannya yang luar biasa padat, ia tetap menulis dan dipublikasikan di berbagai media massa. Dengan demikian, gagasan segar selalu muncul lewat tulisan-tulisannya.
Sebagai doktor ilmu politik yang paham agama, Abana sering diundang oleh elite-elite politik sebagai intelektual politik dan juga agama untuk menyampaikan nasehatnya tentang politik maupun agama. Kegiatan itu sudah menjadi agenda rutin dalam mengisi dan memanfaatkan waktunya. Baginya, mengajar akan mendapatkan pengetahuan baru yang belum diketahui sebelumnya dan juga untuk melahirkan pemuda penerus bangsa yang sadar akan hak dan kewajibannya.
Waktu Abana sebagai Penghafal al-Qur’an
Sebagai penghafal al-Qur’an, Abana menggunakan waktunya untuk muraja’ah hafalan minimal 6 juz dalam sehari. Menurutnya, 6 juz adalah jumlah yang ideal bagi orang yang sudah hafal al-Qur’an untuk menjaga hafalannya agar tidak hilang alias tidak lupa. Abana menggunakan waktu yang tidak bisa digunakan untuk menulis dan yang lain dalam perjalannya untuk membaca al-Qur’an, termasuk saat menunggu pesawat akan terbang atau kereta akan melaju. Tidak ada waktu yang terbuang bagi penghafal al-Qur’an.
Selain itu, Abana juga menggunakan waktunya untuk simaan, yakni menyimak para disciple ataupun disima’ oleh disciple. Sebab, simaan dapat menguatkan hafalan dan meminimalisir kesalahan hafalan. Bisa jadi dalam anggapan seseorang sudah merasa hafal dan benar, tetapi ternyata ketika disimak, hal itu salah. Ada banyak kesalahan. Itulah yang penulis rasakan.
Selain semua itu, Abana juga menggunakan sebagian waktunya untuk berwirausaha. Usaha di bidang pertanian menjadi pilihan, karena bisa sinergis dengan rumah perkaderan dan kebutuhan sehari-hari. Hasil dari enterpreneurship itu digunakan untuk membiyai pesantren dan rumah perkaderannya, dan tentu saja keluarganya.
Banyak orang yang menyesal di akhir-akhir. Sebab, baru menyadari bahwa mereka telah menyepelekan waktu dan tidak bisa memanfaatkan waktu dengan sebaik-sebaiknya. Akibatnya, mereka ingin mengulang kembali masa lalunya untuk menggunakan waktu sebaik-baiknya. Tetapi, waktu tidak bisa diputar ulang kembali dan mereka hanya bisa menerima kenyataan yang telah diperbuat. Waktumu hari ini menentukan masa depanmu. Maka belajar dan berkerja keraslah sekarang untuk masa depanmu.
“Jangan mengukur kerja dan hasilnya dengan variabel waktu. Itu keliru. Ada orang yang bekerja dalam waktu singkat, mendapatkan hasil yang berlipat-lipat. Ada yang bekerja sepanjang hayat, tetapi hasilnya hanya sekedar untuk bertahan dan tidak sekarat. Pastikan bekerja dengan benar dan efisien. Lakukan dengan sabar dan lengkapi dengan shalat. Hasilnya pasti akan bermanfaat untuk bukan saja kehidupan dunia, tetapi juga akhirat” (Abana Dr. Mohammad Nasih).
Variabel waktu dalam berkerja tidak menentukan kita untuk sukses dan mendapatkan hasil yang lebih banyak. Ada orang yang bekerja dalam waktu singkat, mendapatkan hasil yang berlipat-lipat. Sangat bisa dipastikan bahwa ia sebelumnya telah menggunakan waktu dengan super intensif, untuk mempelajari sesuatu, sehingga ia menjadi ahli dalam bidang tertentu. Sebaliknya, ada orang yang bekerja sepanjang hayat, tetapi hanya untuk bertahan hidup dan tidak sekarat. Ini karena dia tidak memahami waktu sebagai sesuatu yang sangat berharga, melebihi uang, yang menyebabkan dia terlena.
Bekerjalah dengan benar dan efisien. Lakukanlah dengan sabar dan dilengkapi dengan shalat, karena hasilnya tidak hanya bermanfaat didunia saja, tetapi juga di akhirat. Tujuan hidup yang sebenarnya adalah akhirat. Maka jangan sampai orang hidup di dunia ini kemudian melupakan akhiratnya. Karena hidup di dunia ini ibarat “mampir ngombe”, yang berarti waktunya sangat singkat. Karena itu, harus mengunakan waktu dan kesempatan dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya.
Penyesalan selalu datang belakangan. Jangan sampai itu terjadi pada kita. Waktu begitu cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali. Waktu terus berlari tanpa henti. Waktu terus berputar tanpa kenal lelah. Waktu tidak menghiraukan apa yang ditinggalkannya. Semoga kita termasuk orang yang tidak merugi, karena menggunakan waktu untuk beramal shalih, saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran yang didasarkan kepada iman yang benar (QS. al-‘Ashr: 1-3). Aamiin. Wallahu a’lam bi al-shawab.