Kebersihan merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki oleh Negara Singapura. Namun dibalik itu semua, tidak semudah membalikan telapak tangan dan apa yang dibayangkan. Butuh jalan panjang dan waktu yang lama untuk mencapai hal tersebut. Singapura yang selama ini terkenal akan kebersihannya, faktanya menyimpan sejarah perjuangan panjang dibaliknya. Mereka harus melakukan kampanye, memberlakukan denda, hingga mempekerjakan 56 ribu tenaga kebersihan untuk jadi bersih.
Perjalanan Singapura untuk menjadi negara bersih sudah dimulai sejak tahun 1968, hanya berselang tiga tahun setelah mereka merdeka pada tahun 1965. Perdana menteri pertama sekaligus founding father Singapura, Lee Kuan Yew merupakan sosok di balik ambisi Singapura menjadi negara bersih dan hijau.
Usaha pertama yang dilakukan oleh Singapura yaitu dimulai dengan kampanye Keep Singapore Clean pada tahun 1968. Kampanye inilah awal mula yang menjadi cikal bakal diberlakukannya denda untuk yang membuang sampah sembarangan. Kampanye terus berlanjut pada era 1970-1980an yang mewajibkan setiap toilet, pabrik, sampai pemberhentian bus tetap bersih. Selain itu di tahun 1976, Singapura juga meluncurkan kampanye ‘Use Your Hands’ yang mengajak seluruh siswa, guru, orangtua, kepala sekolah, dan pegawai negeri untuk membersihkan sekolah setiap akhir pekan. Melalui kampanye itu, mereka juga melakukan kegiatan menanam pohon.
Kampanye ini dilakukan agar masyarakat tahu dan sadar tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan negara. Peraturan yang mewajibkan setiap area bersih dan mengajak seluruh elemen masyarakat ini dibuat tidak hanya untuk kemaslahatan dirinya sendiri, tetapi untuk kemaslahatan seluruh masyarakat singapura.
Tujuan Lee Kuan Yew memberlakukan kampanye ini bukan hanya sekadar untuk menjaga negara tetap bersih. Lebih dari itu, ia memikirkan dampak penguatan ekonomi dari kegiatan yang ia inisiasi dan menciptakan kondisi lingkungan yang sengat.
Dilansir dari BBC, Sabtu (9/11/2019), Lee Kuan Yew pernah mengatakan, standar-standar ini akan menjaga moral tetap tinggi, tingkat penyakit rendah, dan dengan demikian akan menciptakan kondisi sosial yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dalam industri dan pariwisata. Ini akan berkontribusi bagi publik dan pada akhirnya menguntungkan semua orang.
Usaha yang dilakukan Lee Kuan Yew ini pun berbuah manis. Singapura menjadi destinasi favorit turis. Mereka berhasil menggaet 10 juta turis pada kuartal ketiga 2018. Investasi asing juga meningkat hingga USD 66 miliar atau setara dengan Rp 925 triliun pada tahun 2017.
Namun usaha untuk membuat negara menjadi bersih, tak cukup hanya dengan kampanye. Seperti disebutkan sebelumnya, Singapura juga memberlakukan denda bagi pembuang sampah sembarangan. Denda minimal yang diberlakukan adalah USD 217 atau sekitar Rp 3 juta. Selain buang sampah sembarangan, Singapura juga membuat aturan-aturan unik agar tetap bersih seperti melarang impor permen karet, membawa durian di kereta, sampai denda kalau tidak membilas toilet.
Kebersihan di Singapura rupanya juga disokong tenaga kebersihan yang mereka pekerjakan. Singapura yang saat ini semakin kaya, berani mempekerjakan puluhan ribu tenaga kebersihan dengan upah kecil. Ahli kesehatan publik, Liak Teng Lit mengatakan kalau bersihnya Singapura bukan semata karena denda tetapi ada sekumpulan pasukan tenaga kebersihan yang menjaga Singapura tetap bersih.
Menurut Lee, Singapura bukan negara bersih tapi negara yang dibersihkan. Saat ini ada 56 ribu tenaga kebersihan yang dipekerjakan National Environment Agency di Singapura. Selain itu, masih ada ribuan pekerja independen lain yang tak terigestrasi. Kebanyakan dari mereka adalah buruh dengan upah minim yang berasal dari luar negeri atau yang sudah tua.
Akan tetapi kebijakan ini justru menimbulkan masalah baru, dimana orang Singapura menjadi malas untuk menjaga kebersihannya sendiri. Sebagai contoh, ketika selesai makan, mereka meninggalkan meja yang dipenuhi sisa makanan karena mereka berpikir pasti akan ada tenaga kebersihan yang membereskan sisa makanan itu.
Lebih lanjut, anggota dari Komisi Pelayanan Publik, Edward D’Silva mengkritik kebijakan Singapura yang terlalu banyak menghabiskan uang untuk tenaga kebersihan. Ia mencontohkan untuk menjaga fasilitas umum tetap bersih, pemerintah mengeluarkan dana sebesar US$ 87 juta atau sekitar Rp 1,2 triliun.
Jika kamu bisa menanamkan dan menumbuhkan kebiasaan orang untuk tidak membuang sampah sembarangan, kamu tidak perlu menghabiskan uang untuk membayar tenaga kebersihan, lebih baik uang jutaan dolar itu digunakan untuk bidang kesehatan dan pendidikan.
Melihat kondisi tersebut, salah satu anggota parlemen, Lee Bee Wah bersama dengan konstituennya melaksanakan hari bersih-bersih di Khatib. Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran warga untuk ikut menjaga kebersihan. Mereka melaksanakan kegiatan ini minimal sekali setiap bulan dan dihadiri banyak konstituen. Dalam kegiatan itu, mereka mengambil alih pekerjaan tenaga kebersihan. Tenaga kebersihan itu dibiarkan libur dan merekalah yang membersihkan kota. Kesadaran tidak akan timbul kalau masyarakat terus dimanja.
Pada tahun 2013 ketika kegiatan ini pertama kali dilakukan, mereka bisa mengumpulkan 1.430 kg sampah. Tahun ini jumlah sampah berkurang menjadi 292 kg. Jika Singapura terlalu banyak membayar petugas kebersihan dan warga Singapura terlalu malas untuk bersih-bersih sendiri, Lee Bee Wah membuktikan kalau hal itu bisa diatasi. Hingga kini, kesadaran akan kebersihan sudah mendarah daging dalam penduduk Singapura. Kebersihan adalah hal biasa bagi mereka di sana, yang tentu membuat turis jadi betah untuk datang dan datang liburan lagi.
Pemimpin yang baik akan selalu memikirkan rakyatnya. Kebijakan yang dibuat merupakan kegelisahan yang dialami masyarakat dan negaranya. Kekuasaan akan berdampak positif dan bermanfaat apabila kebijakannya baik. Sebaliknya, kekuasaan akan berdampak negatif apabila kebijakannya buruk. Dalam hal ini pemimpin sangat berpengaruh menentukan negaranya. Apakah negara ini mau dibuat menjadi negara bersih? Apakah masyarakat sudah sadar akan kebersihan? Wallahu a’lam bi al-shawab.
Posting Komentar